Not Trilemma or Dilemma but No Choice
In the international economics literature, the concept of the trilemma, or “impossible trinity,” has long been a cornerstone for understanding the limitations of monetary policy in a financially integrated world. The trilemma posits that a country cannot simultaneously maintain an independent monetary policy, stable exchange rates, and full capital mobility. However, Helene Rey introduced the idea of a “dilemma, not a trilemma,” which argues that even with flexible exchange rates, countries cannot sustain completely independent monetary policies due to the influence of the global financial cycle. This article critiques this perspective, particularly in the context of developing countries with small, open economies that often face a “no choice” situation.
The Concept of “No Choice” in Monetary Policy
For developing countries like Indonesia, the reality is often more severe than the “dilemma” concept suggests. When interest rates in the United States rise, countries with small, open economies must rapidly adjust their monetary policies to prevent capital outflows and sharp currency depreciation. This scenario transcends a dilemma, becoming an imperative that effectively eliminates any semblance of monetary policy independence.
For instance, Bank Indonesia’s monetary policy in 2024, which prioritizes economic stability, is a direct response to global economic dynamics and high US interest rates. Although this policy may not be the primary preference of Bank Indonesia, external pressures necessitate the adoption of measures deemed essential for maintaining domestic economic stability. This illustrates that small and open economies like Indonesia often have no choice but to align with global policies dictated by developed nations.
Dependence on Foreign Capital and Exchange Rate Volatility
Developing countries frequently rely heavily on foreign capital flows to fund investments and sustain foreign exchange reserves. When interest rates in developed countries rise, capital tends to flow out of developing countries, leading to currency depreciation and increased inflationary pressures. To combat this, central banks in these countries are compelled to raise interest rates, even though such actions may slow domestic economic growth.
Indonesia exemplifies this situation. When the Federal Reserve raises interest rates, Bank Indonesia often has to follow suit by increasing its own rates to prevent capital outflows and stabilize the rupiah. This demonstrates that the scope for independent monetary policy in Indonesia is significantly constrained by the monetary decisions of the United States.
Macroprudential Policy Is Not Enough
Helene Rey advocates for the use of macroprudential policies to manage risks from the global financial cycle. However, for developing countries, these policies often fall short of providing full protection against external shocks. While macroprudential measures can mitigate certain risks, they cannot substitute the necessity of adjusting domestic interest rates to align with global conditions.
Moreover, the effective implementation of macroprudential policies requires robust financial infrastructure and regulatory capabilities, which may not be available in all developing countries. Consequently, these nations remain ensnared in a situation where they must adapt to the global monetary policy environment.
Conclusion
In the context of developing countries with small, open economies, the concept of a “dilemma, not a trilemma” may not fully capture their reality. Often, these countries encounter a “no choice” situation, wherein they have no option but to adjust their monetary policies in response to global dynamics to sustain economic stability. This indicates that the independence of monetary policy in these countries is highly limited and frequently dictated by policy decisions in developed economies like the United States.
For developing countries to achieve more effective monetary policy, it is crucial to explore new strategies to manage dependence on foreign capital and enhance the capabilities of their financial institutions. Only then can they secure more autonomy in their monetary policies, even within an increasingly financially integrated world.
Indonesia
Dalam literatur ekonomi internasional, konsep trilemma, atau “impossible trinity,” telah lama menjadi panduan dalam memahami keterbatasan kebijakan moneter di dunia yang terintegrasi secara finansial. Trilemma menyatakan bahwa sebuah negara tidak dapat secara simultan memiliki kebijakan moneter independen, stabilitas nilai tukar, dan mobilitas modal penuh. Namun, Helene Rey memperkenalkan konsep “dilemma, bukan trilemma,” yang menyatakan bahwa bahkan dengan nilai tukar yang fleksibel, negara-negara tetap tidak bisa mempertahankan kebijakan moneter yang sepenuhnya independen karena dampak dari siklus keuangan global. Dalam artikel ini, saya mengajukan kritik terhadap pandangan ini, terutama dalam konteks negara-negara berkembang dengan ekonomi kecil dan terbuka, yang sering kali menghadapi situasi “no choice.”
Konsep “No Choice” dalam Kebijakan Moneter
Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, kenyataan yang dihadapi sering kali lebih ekstrem daripada yang dijelaskan oleh konsep “dilemma.” Ketika suku bunga di Amerika Serikat meningkat, negara-negara dengan ekonomi kecil dan terbuka harus segera menyesuaikan kebijakan moneter mereka untuk mencegah arus keluar modal dan depresiasi mata uang yang tajam. Ini bukan lagi dilema, melainkan keharusan yang tidak menyisakan ruang bagi independensi kebijakan moneter.
Sebagai contoh, kebijakan moneter Bank Indonesia pada tahun 2024 yang berfokus pada stabilitas ekonomi merupakan respons terhadap dinamika ekonomi global dan tingkat suku bunga yang tinggi di AS. Meskipun kebijakan ini mungkin bukan pilihan utama Bank Indonesia, tekanan eksternal memaksa mereka untuk mengadopsi kebijakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara kecil dan terbuka seperti Indonesia sering kali tidak memiliki pilihan selain mengikuti arus kebijakan global yang didikte oleh negara-negara maju.
Ketergantungan pada Modal Asing dan Volatilitas Nilai Tukar
Negara-negara berkembang sering kali sangat bergantung pada aliran modal asing untuk mendanai investasi dan mempertahankan cadangan devisa. Ketika suku bunga di negara maju naik, modal cenderung mengalir keluar dari negara-negara berkembang, menyebabkan depresiasi mata uang dan tekanan inflasi yang meningkat. Untuk mengatasi hal ini, bank sentral di negara-negara ini terpaksa menaikkan suku bunga, meskipun langkah tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik.
Indonesia adalah contoh yang relevan. Ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga, Bank Indonesia sering kali harus mengikuti dengan menaikkan suku bunganya sendiri untuk mencegah arus keluar modal dan stabilitas nilai tukar rupiah. Ini menegaskan bahwa kebijakan moneter independen di Indonesia sangat terbatas oleh keputusan kebijakan moneter di Amerika Serikat.
Kebijakan Makroprudensial Tidak Cukup
Helene Rey menyarankan penggunaan kebijakan makroprudensial untuk mengelola risiko yang berasal dari siklus keuangan global. Namun, untuk negara-negara berkembang, kebijakan ini sering kali tidak cukup untuk sepenuhnya melindungi ekonomi mereka dari guncangan eksternal. Kebijakan makroprudensial mungkin dapat mengurangi beberapa risiko, tetapi mereka tidak dapat menggantikan kebutuhan untuk menyesuaikan suku bunga domestik dengan kondisi global.
Selain itu, pelaksanaan kebijakan makroprudensial memerlukan infrastruktur keuangan yang kuat dan kemampuan regulasi yang mungkin tidak dimiliki oleh semua negara berkembang. Dengan demikian, negara-negara ini tetap terjebak dalam situasi di mana mereka harus mengikuti arus kebijakan moneter global.
Kesimpulan
Dalam konteks negara-negara berkembang dengan ekonomi kecil dan terbuka, konsep “dilemma bukan trilemma” mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan realitas yang dihadapi. Sering kali, negara-negara ini menghadapi situasi “no choice,” di mana mereka tidak memiliki opsi selain menyesuaikan kebijakan moneter mereka dengan dinamika global untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ini menunjukkan bahwa independensi kebijakan moneter di negara-negara ini sangat terbatas dan sering kali ditentukan oleh keputusan kebijakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Untuk kebijakan moneter yang lebih efektif, penting bagi negara-negara berkembang untuk mencari cara baru dalam mengelola ketergantungan mereka pada modal asing dan meningkatkan kapasitas institusi keuangan mereka. Hanya dengan demikian mereka dapat memperoleh lebih banyak ruang untuk kebijakan moneter yang benar-benar independen, meskipun dalam dunia yang semakin terintegrasi secara finansial.